Oleh: Muhtar Sadili
Alumni Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam satu hadits kudsi disampaikan “puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberi imbalannya”, kira-kira begitu Allah SWT. mengatakan pada kaum muslim. Hadits Qudsi ini kerap dijadikan rujukan untuk menegaskan spirit kontrol diri dalam berpuasa.
Dalam berpuasa hanya yang berpuasa dan Allah Swt. yang tahu amalan itu dilakukan. Berbeda dengan amalan lain yang mengandung unsur orang lain melihat langsung. Semisal shalat yang terlihat sah dan tidaknya sepanjang seseorang sesuai syarat dan ketentuan terlihat nyata oleh orang lain.
Puasa seseorang punya nilai kontrol diri di atas rata-rata. Hanya pelakunya yang bisa menentukan kapan dan di mana dia bisa menahan lapar-dahaga. Boleh jadi di depan khalayak ramai terlihat sungguh-sungguh berpuasa, tapi telah melakukan perbuatan yang menyebabkan batal berpuasa. Bahkan dilakukan tidak dengan sengaja, semisal menyakiti orang lain dengan lisan tanpa sadar. Hingga membatalkan kesucian puasa, meski tetap menahan lapar dahaga hingga maghrib tiba.
Adalah konsep ihsan, “jika kamu tidak melihat Tuhan, maka pasti Tuhan melihat apa yang kamu kerjakan”. Sebuah kontrol bagi setiap muslim dalam kesunyian diri dengan tetap menjaga titah sang ilahi. Di mana pun kita berada, radar pencatat amal tetap bekerja. Dan setiap manusia tidak akan bisa menghindar dari perbuatan tidak tercatat, buruk dan atau baiknya.
Nah konsep ihsan ini sangat terasa dalam aktifitas puasa. Kekuasaan mencatat Tuhan akan selalu hadir ke mana kita pergi, bahkan waktu tertidur sekalipun. Perasaan akan hadirnya Sang Pencatat dalam rangkaian aktifitas puasa sepanjang pagi hingga malam. Sebuah kesadaran yang akan membuat seorang berpuasa punya kontrol diri atas dirinya, keluarga, masyarakat bahkan negara.
Sangat elok kiranya semangat kontrol diri ini disandingkan dengan misi pemerintahan bersih dan berwibawa. Bangsa yang masih terus dirundung kesedihan terkait maraknya korupsi akan dibantu berkurang secara bertahap. Asal mampu menjadikan puasa seperti di atas yang tertanam kuat pada pemangku kebijakan. Bukan hanya dalam bulan suci Ramadhan tapi menyinari bulan-bulan selanjutnya.
Perlu diingat, di balik pesan kontrol diri berpuasa ada misi keberlanjutan ruang dan waktu. Puasa di bulan ramadhan memang ujian dan harus lulus dengan diamalkan menembus ruang dan waktu. Jika hanya ada batas dalam bulan ramadhan, maka sebenarnya puasanya seseorang tidak ada efek berarti bagi misi Islam yang memberikan rahmat pada seru sekalian ummat.
Para ulama telah mewanti-wanti setalah menjelaskan panjang lebar makna dan misi pembangunan yang bisa didapatkan dari berpuasa. Jika makna dan misi pembangunan itu tersekat waktu idul fitri, akan mengembalikan status kemanusiaan yang tidak produktif. Satu sisi manusia diturunkan ke bumi untuk memakmurkan, tapi pada sisi lain setalah puasa amal kenistaan yang menggerogoti kemanusiaan terus dilakukan.
Itulah kenapa Imam Ghozali memaknakan puasa kepada beberapa bagian. Salah satu yang terpenting adalah puasanya orang yang sungguh-sungguh tapi tetap dilanjutkan sikap dan sifat kebajikan berpuasa pada bulan berikutnya. “Puasa Sungguhan” yang ditekankan Imam Ghozali sebenarnya untuk menjaga misi kemanusiaan itu sendiri, memakmurkan kepada seluruh umat manusia.
Tidak tersekat ruang dan waktu. Kita juga ingat bagaimana slogan KH. Zaenuddin MZ, bahwa puasa adalah mengendalikan diri. Jika hanya mampu mengendalikan amal kenistaan di bulan ramadhan saja, itu tidak akan bermanfaat. Mirip dengan tobat sambel, hanya berhenti sebulan untuk selanjutnya kembali pada perbuatan tidak terpuji dalam sebelas bulan berikutnya.
Makanya kita berharap puasa bisa menjadikan umat manusia sholeh secara sosial. Karena yang bersifat sementara selama bulan puasa cendrung menjadikan sholeh secara individual. Harus disempurnakan dengan amal nyata untuk kemanusiaan universal pada bulan-bulan berikutnya.
Semoga..