Spiritualitas Dunia Pasca Covid-19

Oleh : Thobib Al-Asyhar
(Ketua Pokja Media Cyber Komisi Infokom MUI, Dosen Kajian Timteng dan Islam SKSG Universitas Indonesia)

Dunia sedang berduka. Covid-19 menjadi penyebabnya. Awalnya, banyak negara menduga, Covid-19 “hanya” milik China. Bukan tanpa alasan. Konon, virus ini memang berasal dari sana. Tepatnya kota Wuhan.

Kini, peta Covid-19 telah mengubah peta dunia. Negara sehebat USA, Italia, Spanyol, dan lainnya kewalahan menghadapi virus mematikan ini. Dunia baru tersadar, betapa virus ini menjadi ancaman nyata bagi kehidupan. Teori awalnya, virus ini mudah dilawan. Faktanya lain, virus cepat tersebar. Jumlah kematian jauh lebih banyak dari perkiraan awal.

Upaya-upaya medis dilakukan. Pencegahan digencarkan. Solidaritas sosial digalakkan. Lebih dari itu, banyak orang di muka bumi ini “mencari” Tuhan. Sudah lama Tuhan “dilupakan”. Sebagian orang pintar memperdebatkan. Malah tidak sedikit yang tidak percaya adanya Tuhan.

Sekarang, virus berinisial Covid-19 membuat orang tersadar. Tuhan “dicari” dimana-mana. Ada yang ikhlas dan mengerti bagaimana caranya. Ada juga yang tidak ikhlas sambil protes, “Tuhan, anda dimana? Aku butuh kehadiran Engkau”. Doa, zikir, dan ibadah untuk mengetuk “pintu langit” diserukan, meski lewat online.

Pertanyaan muncul, bagaimana peta spiritualitas dunia pasca Covid-19? Apakah dunia semakin dekat dengan spiritualitas? Atau hanya sementara, lalu kembali lagi seperti sebelumnya? Bukankah tabiat manusia memang begitu? Pagi iman, sore ingkar. Kadang taqwa, kadang fujur (ingkar).

Danah Zohar dan Ian Marshal berkata, spiritualitas manusia membuatnya ia bertanya. Mengapa kita melakukan sesuatu? Unsur fundamental apa agar kita lebih baik?

Caroline Young dan Cyndie Koopsen agak lebih spesifik mengartikannya. Spiritualitas baginya sebagai semangat hidup. Hakikat eksistensi manusia diungkapkan melalui hubungan dengan diri sendiri, sesama, alam, dan Sang Pencipta.

Secara umum, spiritualitas diartikan suatu kondisi keterkaitan dengan “The Other” yang memelihara jiwa. Yaitu menyatunya pikiran, kehendak, dan emosi. Ia dihubungkan dengan kekuasaan yang Maha Tinggi (Tuhan). Biasanya diwadahi oleh agama formal. Ada juga spiritualitas dihubungkan dengan
dimensi ekstensial yang berfokus pada tujuan dan arti kehidupan.

Menilik dari dimensi spiritualitas tersebut, penulis meyakini Covid-19 akan menjadikan spiritualitas penduduk dunia semakin dinamis. Meski sulit dibuktikan secara empirik karena menyangkut aspek-aspek immaterial, tapi hal tersebut dapat didekati dengan analisis sebagai berikut:

Pertama, dalam konteks era yang semakin modern, manusia mulai kehilangan makna. Saat semua hal diukur oleh kesenangan material, manusia mulai mencari (looking for) bagaimana menemukan nilai-nilai kehidupan (life values). Fenomena ini terjadi jauh sebelum Covid-19. Namun pandemi virus Corona bisa menjadi pemicu lebih kuat naiknya (increasing) spiritualitas manusia modern.

Seperti kita tahu, dalam beberapa tahun terakhir penganut “new age” meningkat. Sebuah fenomena dimana orang-orang modern mencari nilai spiritualitas tanpa terpaku pada ikatan agama formal. Kehampaan nilai karena tekanan lifestyle memaksa manusia modern mencari sandaran batin. Untuk apa? Setidaknya dapat menemukan apa yang mereka sebut sebagai kebahagiaan (happiness). Meski sebatas aspek-aspek mental saja.

Bahkan sebuah analisis Pew Research Center (2018) menemukan bahwa ada 22% orang-orang ateis percaya pada setidaknya satu dari empat hal: energi spiritual, paranormal, reinkarnasi, atau astrologi. Walaupun mereka tidak percaya Tuhan, tetapi percaya pada unsur luar diri yang bersifat immaterial.

Kedua, khusus untuk umat beragama mungkin yang paling bisa terbaca kecenderungannya. Meskipun ritualitas formal seperti ibadah di Masjid, Gereja, Kelenteng, Pura, Kuil, Sinagog, dan lainnya dihentikan sementara di seluruh dunia, namun “getaran” spiritualitas menaik. Para tokoh lintas agama menyeru agar umat lebih dekat dengan Tuhan. Kajian keagaman online menjamur.

Dalam lingkup negeri kita beberapa kali diadakan zikir dan doa virtual secara nasional. Permohonan ampunan dan harapan untuk mengetuk pintu langit. Apalagi saat ini umat Islam sedang menjalani Ramadhan. Momentum “charghing” spiritual bagi umat Islam. Bersimpuh (sujud), berdoa, dan berharap pertolongan Tuhan agar mengangkat wabah mematikan ini segera.

Dua poin besar di atas bisa menggambarkan betapa Covid-19 memicu kenaikan spiritualitas penduduk dunia. Hanya saja, jika menilik watak dasar manusia, tidak jadi jaminan hal ini akan terus mendorong orang menjadi lebih “spirtual” dan “transenden”. Betapa banyak bencana besar mampu “menyadarkan”, tetapi tidak lama kemudian “dilupakan”.

Idealnya, wabah Covid-19 menjadi penanda bahwa manusia lemah. Tuhan harus diakui (diyakini) memiliki segalanya. Dengan cara pikir itu, spiritualitas manusia seharusnya akan terus menaik. Bukankah dalam diri manusia ada bagian dari spirit ketuhanan? Namun, tarikan kuat modernisme sepertinya akan membawa manusia lupa pda hakikat dirinya. Hanya orang-orang yang memiliki “awareness” tinggi yang mampu ambil pelajaran wabah Covid-19.

Thobib Al-Asyhar
(Ketua Pokja Media Cyber Komisi Infokom MUI, Dosen Kajian Timteng dan Islam SKSG Universitas Indonesia)